Rabu, 19 Februari 2014

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Sebagai Pengganti dari Undang-undang nomor 8 tahun 1974 juncto Undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, Tentang Aparatur Sipil Negara pada tanggal 15 Januari 2014, sebelumnya RUU ini telah disahkan oleh DPR RI sejak tanggal 19 Desember 2013. Aparatur Sipil Negara UU No. 5 Tahun 2014 2014 APARATUL SIPIL NEGARA ABSTRAK : bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti. Dasar Hukum : Pasal 20 dan Pasal 21 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perka Lemsaneg ini mengatur tentang : Penilaian dan Penetapan TPP, meliputi : Ketentuan Umum yang memuat istilah-istilah dimaksud dalam Peraturan ini; Asas, Prinsip, Dasar, serta kode etik dan kode perilaku; Jenis, Status dan Kedudukan; Fungsi, Tugas, dan Peran; Jabatan ASN; Hak dan Kewajiban; Kelembagaan; Manajemen ASN; Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi; Pegawai ASN yang menjadi pejabat negara; Organisasi; Sistem Informasi ASN; Penyelesaian Sengketa; Ketentuan Peralihan; Ketentuan Penutup. Lampiran peraturan ini, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Kepala Lemsaneg ini. CATATAN : - Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; - Ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2014; - Diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014; VI. Manajemen PPPK Jenis jabatan yang dapat diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diatur dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. “Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu minimal 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan, dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri,” bunyi Pasal 94 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. UU ini menegaskan, setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan. Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud, dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan menjadi PPPK. Adapun penerimaannya dilakukan melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. “Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian, dengan masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja,” bunyi Pasal 98 Ayat (1,2) UU ini. Apakah PPPK dapat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)? UU ini menjawab, PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut UU No. 5/2014 ini, pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PPK berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan. Selain gaji, PPPK dapat menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK, dilakukan dengan hormat karena: a. Jangka waktu perjanjian kerja berakhir; b. Meninggal dunia; c. Atas permintaan sendiri; d. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK; atau e. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati. Pemutusan hubungan perjanjikan kerja PPPK dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena: a. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan tidak berencana; b. Melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; atau tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai dengan perjanjian kerja. Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak dengan hormat karena: a. Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UU 1945; b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; c. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan d. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana. Terhadap PPPK ini, menurut Pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. Jaminan hari tua; b. Jaminan kesehatan; c. Jaminan kecelakaan kerja; d. Jaminan kematian; dan e. Bantuan hukum. “Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kemarian dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional,” bunyi Pasal 106 Ayat (2) UU tersebut. Sementara bantuan hukum sebagaimana dimaksud berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. VIII. Jadi Pejabat Negara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan, pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak mendaftar sebagai calon. Adapun PNS yang diangkat menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi, BPK, Komisi Yudisial. KPK; c. Menteri dan setingkat menteri; d. Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; dam pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang , menurut Pasal 123 Ayat (1) UU ini, diberhentikan sementara dari jabatannya, dan tidak kehilangan status sebagai PNS. “Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud diaktifkan kembali sebagai PNS,” bunyi Pasal 123 Ayat (2) UU. No. 5/2014. Adapun PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota DPR/DPRD; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Menurut UU ini, PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 123 Ayat (1) dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi, atau jabatan fungsional sepanjang tersedia lowongan jabatan. “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat,” bunyi Pasal 124 Ayat (2) UU No. 5/2014. IX. Organisasi dan Penyelesaian Sengketa Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia, yang memiliki tujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN, dan mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa. Sementara untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN, menurut UU No. 5/2014 ini, diperlukan Sistem Informasi ASN, yang diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi antar-Instansi Pemerintah. Sistem Informasi ASN memuat seluruh informasi dan data pegawai ASN, yang meliputi: a.Data riwayat hidup; b. Riwayat pendidikan formal dan non formal; c. Riwajat jabatan dan kepangkatan; d. Riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan; e. Riwayat pengalaman berorganisasi; f. Riwayat gaji; g. Riwayat pendidikan dan latihab; h. Daftar penilaian prestasi kerja; i. Surat keputusan; dan j. Kompetensi. Menurut UU ini, sengketa pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif, yang terdiri dari keberatan dan banding administratif. Keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan, dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang mengukum; adapun banding diajukan kepada badan pertimbangan ASN. X. Ketentuan Peralihan Pada Bab Peralihan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan, pada saat UU ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan: a. jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah non kementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama; b. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya; c. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama; d. jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator; e. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan f. jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana. “Penyetaraan sampai dengan berlakunya pelaturan pelaksanaan mengenai jabatan ASN dalam UU ini,” bunyi Pasal 131 UU tersebut. Adapun menyangkut Sistem Informasi ASN, menurut Pasal 133, paling lama tahun 2015 dilaksanakan secara nasional. Sementara Pasal 134 menegaskan, peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. Sedangkan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) harus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu diundangkan. “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” tegas Pasal 141 UU. NO. 5/2014 yang diundangkan pada 15 Januari 2014 itu. VII. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan, pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan masdya sebagaimana dimaksud dilakukan pada tingkat nasional,” bunyi Pasal 108 Ayat (2) UU tersebut. Adapun pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS, yang dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. Menurut UU No. 5/2014 ini, jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat berasald ari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden. Selain itu, jabatan pimpinan tinggi dapat pula diisi oleh prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) setelah mengundurkan diri adari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. Adapun untuk jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi Pemerintah, yang terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi Pemerintah yang bersangkutan,” bunyi Pasal 110 Ayat (1,3) UU tersebut. Dalam UU ini juga ditegaskan, dalam membentuk panitia seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi, Pejabat Pembina Kepegawaian berkoordinasi dengan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Ketentuan mengenai pengisian jabatan pimpinan tinggi ini dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN. “Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN, wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk mendapatkan persetujuan baru,” bunyi Pasal 111 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 itu. VII.a. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (sayu) lowongan jabatan. Tiga nama calon pejabat yang ter[ilih disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Selanjutnya, Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud kepada Presiden. “Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya,” bunyi Pasal 112 Ayat (4) UU ini. Adapun untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Selanjutnya, panitia seleksi memilih 3 (tiga) nama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan yang disanpaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang (pejabat yang memiliki kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN). “Pejabat Pembina Kepegawaian lalu memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon yang diusulkan dengan memperhatikan pertimbangan Pejabat yang Berwenang untuk ditetapan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama,” bunyi Pasal 113 Ayat (4) UU No. 5/2014 itu. Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi, yang selanjutnya memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. Tiga nama calon itu diserahkan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian untuk selanjutnya diusulkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Presiden akan memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya. Adapun pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Selanjutnya, panitia seleksi mengusulkan 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang. Pejabat Pembina Kepegawaian akan memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon untuk ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pembina tinggi pratama. “Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin sekretariat daerah kabupaten/kota sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota dikoordinasikan dengan gubernur,” bunyi Pasal 115 Ayat (5) UU ini. UU ini menegaskan, Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti pejabat pimpinan tinggi selama 2 (dua) tahun tehritung sejak pelantikan pejabat pimpinan tinggi, kecuali pejabat pimpinan tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan tertentu. Selain itu, penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden. “Jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang berdasarkan pencaaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN,” bunyi Pasal 117 Ayat (1,2) UU No. 5/2014 itu

Rabu, 30 September 2009

Refleksi Tragedi Nasional

Tragedi Nasional! Merdeka! Empat puluh empat tahun sudah tragedi nasional terjadi, tepatnya 30 september 1965 meski hal itu sebenarnya terjadi 1 Oktober 1965. Sebuah sisi kelam sejarah bangsa kita yang harus kita ingat dan kenang, dimana bangsa kita saling membunuh sesama bangsa dan saudara setumpah darah. Peristiwa yang meluluhlantakkan nilai-nilai Humanisme dan jauh dari nurani insaniah. semoga hal itu menjadi refleksi sejarah dan hikmah untuk seluruh rakyat Indonesia agar tetap menjaga kerukunan, persatuan dan kesatuan serta menghargai anugerah Tuhan berupa kehidupan. Termasuk di dalamnya tiadanya penghargaan terhadap Sang Proklamator Bung Karno yang dituduh meng-coup d'etat dirinya sendiri lewat PKI. Sebuah tragedi dimana Bangsa kita yang katanya Bangsa yang Besar tidak mampu menghargai dan menghormati Founding Fathers-nya. Karenanya, mari kita jadikan hari ini, sebagai awal penemuan jati diri dan tujuan kita berbangsa dan bernegara, bukan semata meraih kekuasaan semata dengan cara-cara yang tidak berperadaban dan berkeadaan. Merdeka!

Minggu, 08 Februari 2009

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :

a.




b.



c.


d.
bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.
Mengingat : 1. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.
2.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2.

Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
3.

Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
4.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
5.

Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal.
6.

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
7.

Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8.

Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9.

Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
10.

Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
11.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.
12.

Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
13.

Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.
14.

Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
15.

Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
16.

Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.
17.

Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
18.

Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
19.

Pemerintah adalah pemerintah pusat.
20.

Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
21.

Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.

BAB II
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Pasal 3

(1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Pasal 4

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Pasal 5

Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Pasal 6

Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS

Pasal 7

(1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

1.

memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
2.

memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
3.

memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
4.

memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
5.

memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
6.

memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7.

memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
8.

memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
9.

memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.

BAB IV
GURU

Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi

Pasal 8

Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pasal 9

Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.

Pasal 10

(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.

Pasal 13

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban

Pasal 14

(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

1.

memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
2.

mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
3.

memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
4.

memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
5.

memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
6.

memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
7.

memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
8.

memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
9.

memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
10.

memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
11.

memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 16

(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 18

(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:

1.

merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
2.

meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
3.

bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
4.

menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
5.

memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa;

Bagian Ketiga

Wajib Kerja dan Ikatan Dinas

Pasal 21

(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.
(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal.

Bagian Keempat

Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian

Pasal 24

(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.
(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.

Pasal 25

(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 26

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan.
(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit selama 2 (dua) tahun.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai guru karena:

1.

meninggal dunia;
2.

mencapai batas usia pensiun;
3.

atas permintaan sendiri;
4.

sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan; atau
5.

berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.

(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:

1.

melanggar sumpah dan janji jabatan;
2.

melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
3.

melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun.
(5) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Pasal 31

(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Bagian Kelima

Pembinaan dan Pengembangan

Pasal 32

(1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.

Pasal 33

Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan peraturan Menteri.

Pasal 34

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 35

(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
(2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Penghargaan

Pasal 36

(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 37

(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Perlindungan

Pasal 39

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Bagian Kedelapan

Cuti

Pasal 40

(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan

Organisasi Profesi dan Kode Etik

Pasal 41

(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen.
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
(4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.

Pasal 42

Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:

1.

menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
2.

memberikan bantuan hukum kepada guru;
3.

memberikan perlindungan profesi guru;
4.

melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
5.

memajukan pendidikan nasional.

Pasal 43

(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.

Pasal 44

(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.
(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.
(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BAB V

DOSEN

Bagian Kesatu

Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik

Pasal 45

Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pasal 46

(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.
(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:

1.

lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan
2.

lulusan program doktor untuk program pascasarjana.

(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.
(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan pendidikan tinggi.

Pasal 47

(1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:

1.

memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
2.

memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan
3.

lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.
(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor.
(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen-tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50

(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.
(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi.
(3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban

Pasal 51

(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:

1.

memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
2.

mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
3.

memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
4.

memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
5.

memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;
6.

memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan
7.

memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52

(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 53

(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 54

(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 55

(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 57

(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 58

Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 59

(1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

Pasal 60

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:

1.

melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
2.

merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
3.

meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
4.

bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
5.

menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
6.

memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Bagian Ketiga

Wajib Kerja dan Ikatan Dinas

Pasal 61

(1) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 62

(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional, atau untuk memenuhi kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian

Pasal 63

(1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

Pasal 64

(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan struktural sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 65

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.

Pasal 66

Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 67

(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

1.

meninggal dunia;
2.

telah mencapai batas usia pensiun;
3.

atas permintaan sendiri;
4.

tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau
5.

berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.

(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:

1.

melanggar sumpah dan janji jabatan;
2.

melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
3.

melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.
(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatannya, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Pasal 68

(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri.
(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Bagian Kelima

Pembinaan dan Pengembangan

Pasal 69

(1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.

Pasal 70

Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan peraturan Menteri.

Pasal 71

(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen.
(3) Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

Pasal 72

(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester (SKS) dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam

Penghargaan

Pasal 73

(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 74

(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi keilmuan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh

Perlindungan

Pasal 75

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan

Cuti

Pasal 76

(1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

SANKSI

Pasal 77

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

1.

teguran;
2.

peringatan tertulis;
3.

penundaan pemberian hak guru;
4.

penurunan pangkat;
5.

pemberhentian dengan hormat; atau
6.

pemberhentian tidak dengan hormat.

(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.
(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.

Pasal 78

(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

1.

teguran;
2.

peringatan tertulis;
3.

penundaan pemberian hak dosen;
4.

penurunan pangkat dan jabatan akademik;
5.

pemberhentian dengan hormat; atau
6.

pemberhentian tidak dengan hormat.

(3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.

Pasal 79

(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:

1.

teguran;
2.

peringatan tertulis;
3.

pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan; atau
4.

pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 80

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:

1.

guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
2.

dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.

(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 81

Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 82

(1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 83

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 84

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ----

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



SOESILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ----

MENTERI HUKUM DAN HAM



HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN

I. UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur dalam undang-undang; (3) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (4) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (5) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.

Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan Undang-Undang ini sebagai berikut:

1.

mengangkat martabat guru dan dosen;
2.

menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen;
3.

meningkatkan kompetensi guru dan dosen;
4.

memajukan profesi serta karier guru dan dosen;
5.

meningkatkan mutu pembelajaran;
6.

meningkatkan mutu pendidikan nasional;
7.

mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;
8.

mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan
9.

meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.

Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru dan dosen, kedudukan guru dan dosen pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, guru dan dosen harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.

Selain itu, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen; perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Berdasarkan visi, misi, dan pertimbangan-pertimbangan di atas diperlukan strategi yang meliputi:

1.

penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi akademik dan kompetensi profesional;
2.

pemenuhan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas;
3.

penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru dan dosen sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi yang dilakukan secara merata, objektif, dan transparan untuk menjamin keberlangsungan pendidikan;
4.

penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian para guru dan dosen;
5.

peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas profesional;
6.

peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional;
7.

penguatan kesetaraan antara guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat;
8.

penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional; dan
9.

peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen.

Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional merupakan bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan, keuangan, dan pemerintahan daerah.

Sehubungan dengan hal itu, diperlukan pengaturan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.

Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.

Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

huruf a

Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

huruf b

Cukup jelas.

huruf c

Cukup jelas

huruf d

Cukup jelas.

huruf e

Cukup jelas.

huruf f

Cukup jelas.

huruf g

Cukup jelas.

huruf h

Cukup jelas.

huruf i

Cukup jelas.

huruf j

Cukup jelas.

huruf k

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.

Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.

Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.

Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.

Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Tunjangan profesi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Tunjangan fungsional dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 18

Ayat (1)

Tunjangan khusus dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah memenuhi syarat-syarat akademik untuk menempuh pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.

Yang dimaksud dengan dosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan secara langsung adalah tanpa berjenjang.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 51

Ayat (1)

huruf a

Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

huruf b

Cukup jelas.

huruf c

Cukup jelas.

huruf d

Cukup jelas.

huruf e

Cukup jelas.

huruf f

Cukup jelas.

huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.

Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.

Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.

Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.

Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Lihat penjelasan Pasal 18 ayat (3)

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan bidang ilmu yang langka adalah ilmu yang sangat khas, memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan/atau mempunyai nilai-nilai strategis serta tidak banyak diminati.

Yang dimaksud dengan dana dan fasilitas khusus adalah alokasi anggaran dan kemudahan yang diperuntukkan dosen yang mendalami ilmu langka tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45

Sabtu, 07 Februari 2009

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2005
TENTANG
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (4), Pasal 36 ayat (4), Pasal
37 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 60 ayat (4), dan
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan;
Mengingat : 1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4301);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 2
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
3. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang.
4. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
5. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria
tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus
pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
6. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
7. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik
maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
8. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria
minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium,
bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi.
9. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
10. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan
pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
11. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme,
prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
12. Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk
membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang
sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
13. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
14. Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini
untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
pada setiap satuan pendidikan.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 3
15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
16. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
17. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil
belajar peserta didik.
18. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
19. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara
berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar
peserta didik .
20. Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai
pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
21. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan.
22. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan
independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar
nasional pendidikan;
23. Departemen adalah departemen yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
24. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis
Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam
bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan
untuk mencapai standar nasional pendidikan;
25. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan
evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
26. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan
evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan
nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
27. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan
evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
28. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 4
BAB II
LINGKUP, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan;dan
h. standar penilaian pendidikan.
(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan
dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
(3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Pasal 3
Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Pasal 4
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
BAB III
STANDAR ISI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1). Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
(2). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban
belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 5
Bagian Kedua
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Pasal 6
(1) Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
(2) Kurikulum untuk jenis pendidikan keagamaan formal terdiri atas kelompok mata pelajaran yang ditentukan
berdasarkan tujuan pendidikan keagamaan.
(3) Satuan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan kurikulum
berbasis kompetensi yang memuat pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan.
(4) Setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing
kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik.
(5) Semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah.
(6) Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Pasal 7
(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket
B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan
dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani,
olah raga, dan kesehatan.
(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan
budaya, dan pendidikan jasmani.
(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/ SDLB/Paket A, atau bentuk lain
yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam,
ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan.
(4) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan/atau teknologi informasi dan komunikasi, serta
muatan lokal yang relevan.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 6
(5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal
yang relevan.
(6) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang
sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang
relevan.
(7) Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,
SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau
kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.
( 8) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/ Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu
pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.
Pasal 8
(1) Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap
tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
(2) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar.
(3) Ketentuan mengenai kedalaman muatan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan
oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 9
(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan untuk setiap program studi.
(2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi
program Sarjana dan Diploma wajib memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta
mata kuliah Statistika, dan/atau Matematika.
(4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kurikulum pendidikan tinggi diatur oleh
perguruan tinggi masing-masing.
Bagian Ketiga
Beban Belajar
Pasal 10
(1) Beban belajar untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajat menggunakan jam pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan sistem tatap muka,
penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, sesuai kebutuhan dan ciri khas masing-masing.
(2) MI/MTs/MA atau bentuk lain yang sederajat dapat menambahkan beban belajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 7
kewarganegaraan dan kepribadian sesuai dengan kebutuhan dan ciri khasnya.
(3) Ketentuan mengenai beban belajar, jam pembelajaran, waktu efektif tatap muka, dan persentase beban
belajar setiap kelompok matapelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
Pasal 11
(1) Beban belajar untuk SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dapat dinyatakan dalam satuan
kredit semester (SKS).
(2) Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan
formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester.
(3) Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan
formal kategori mandiri dinyatakan dalam satuan kredit semester.
(4) Beban belajar minimal dan maksimal bagi satuan pendidikan yang menerapkan sistem SKS ditetapkan
dengan Peraturan Menteri berdasarkan usul dari BSNP.
Pasal 12
(1) Beban belajar pada pendidikan kesetaraan disampaikan dalam bentuk tatap muka, praktek keterampilan,
dan kegiatan mandiri yang terstruktur sesuai dengan kebutuhan.
(2) Beban belajar efektif per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan Peraturan Menteri
berdasarkan usulan BSNP.
Pasal 13
(1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain
yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup.
(2) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kecakapan pribadi,
kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
(3) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat merupakan bagian dari
pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi,
kelompok mata pelajaran pendidikan estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga,
dan kesehatan.
(4) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) dapat diperoleh peserta
didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah
memperoleh akreditasi.
Pasal 14
(1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB
atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
(2) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merupakan bagian dari
pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi,
pendidikan kelompok mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga,
dan kesehatan.
(3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diperoleh
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 8
peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah
memperoleh akreditasi.
Pasal 15
(1) Beban SKS minimal dan maksimal program pendidikan pada pendidikan tinggi dirumuskan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2) Beban SKS efektif program pendidikan pada pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.
Bagian Keempat
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pasal 16
(1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.
(2) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi sekurang-kurangnya:
a . Model-model kurik u lum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/
SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori
standar;
b . Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/
SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori
mandiri;
(3) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
keagamaan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.
(4) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berisi sekurang-kurangnya model-model kurikulum satuan
pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
(5) Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (4) sekurangkurangnya
meliputi model kurikulum tingkat satuan pendidikan apabila menggunakan sistem paket dan model
kurikulum tingkat satuan pendidikan apabila menggunakan sistem kredit semester.
Pasal 17
(1) Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau
bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik
daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
(2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan,
di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA,
dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan
MAK.
(3) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya untuk program paket A, B, dan C ditetapkan oleh
dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan berdasarkan kerangka dasar kurikulum
sesuai dengan peraturan pemerintah ini dan standar kompetensi lulusan.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 9
(4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan
ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan.
Bagian Kelima
Kalender Pendidikan/Akademik
Pasal 18
(1) Kalender pendidikan/kalender akademik mencakup permulaan tahun ajaran, minggu efektif belajar, waktu
pembelajaran efektif, dan hari libur.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk jeda tengah semester selama-lamanya
satu minggu dan jeda antar semester.
(3) Kalender pendidikan/akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap satuan pendidikan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
STANDAR PROSES
Pasal 19
(1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan
keteladanan.
(3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya
proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pasal 20
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat
sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil
belajar.
Pasal 21
(1) Pelaksanaan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) harus memperhatikan
jumlah maksimal peserta didik per kelas dan beban mengajar maksimal per pendidik, rasio maksimal buku
teks pelajaran setiap peserta didik, dan rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik.
(2) Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis.
Pasal 22
(1) Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus
dikuasai.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 10
(2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek,
dan penugasan perseorangan atau kelompok.
(3) Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya
dilaksanakan satu kali dalam satu semester.
Pasal 23
Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan,
supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan.
Pasal 24
Standar perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran
dan pengawasan proses pembelajaran dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB V
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
Pasal 25
(1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta
didik dari satuan pendidikan.
(2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata
pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
(3) Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis
yang sesuai dengan jenjang pendidikan.
(4) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
Pasal 26
(1) Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut.
(2) Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
(3) Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
(4) Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan
sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni, yang bermanfaat
bagi kemanusiaan.
Pasal 27
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 11
(1) Standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan nonformal dikembangkan
oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2) Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi.
BAB VI
STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Pendidik
Pasal 28
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus
dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan
anak usia dini meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
(4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati
uji kelayakan dan kesetaraan.
(5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
(1) Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
b. latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi;
dan
c. sertifikat profesi guru untuk PAUD
(2) Pendidik pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 12
b. latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c. sertifikat profesi guru untuk SD/MI
(3) Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan; dan
c. sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs
(4) Pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan; dan
c. sertifikat profesi guru untuk SMA/MA
(5) Pendidik pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang
pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan; dan
b. sertifikat profesi guru untuk SDLB/SMPLB/SMALB.
(6) Pendidik pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan; dan
c. sertifikat profesi guru untuk SMK/MAK.
Pasal 30
(1) Pendidik pada TK/RA sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas yang penugasannya ditetapkan oleh
masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan.
(2) Pendidik pada SD/MI sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas dan guru mata pelajaran yang
penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan.
(3) Guru mata pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup guru kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta guru kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga,
dan kesehatan.
(4) Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat
terdiri atas guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai
dengan keperluan.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 13
(5) Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran dan instruktur
bidang kejuruan yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan
keperluan.
(6) Pendidik pada SDLB, SMPLB, dan SMALB terdiri atas guru mata pelajaran dan pembimbing yang
penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan.
(7) Pendidik pada satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C terdiri atas tutor penanggungjawab kelas,
tutor penanggungjawab mata pelajaran, dan nara sumber teknis yang penugasannya ditetapkan oleh masingmasing
satuan pendidikan sesuai dengan keperluan.
( 8) Pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan keterampilan terdiri atas pengajar, pembimbing, pelatih atau
instruktur, dan penguji.
Pasal 31
(1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum:
a. lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma;
b. lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan
c. lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3).
(2) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir a, pendidik pada program vokasi
harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi.
(3) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir b, pendidik pada program profesi
harus memiliki sertifikat kompetensi setelah sarjana sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan
yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Pasal 32
(1) Pendidik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi
sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 sampai dengan pasal 31.
(2) Selain syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 menteri yang menangani
urusan pemerintahan di bidang agama dapat memberikan kriteria tambahan.
Pasal 33
(1) Pendidik di lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi
minimum yang dipersyaratkan.
(2) Kualifikasi dan kompetensi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
Rasio pendidik terhadap peserta didik ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan usulan dari BSNP.
Bagian Kedua
Tenaga Kependidikan
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 14
Pasal 35
(1) Tenaga kependidikan pada:
a. TK/RA atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala TK/RA dan tenaga
kebersihan TK/RA.
b. SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah,
tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.
c. SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat sekurangkurangnya
terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga
laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.
d. SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah,
tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan
sekolah/madrasah.
e. SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala
sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah,
teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja sosial, dan terapis.
f. Paket A, Paket B dan Paket C sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga
administrasi, dan tenaga perpustakaan.
g. lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola atau
penyelenggara, teknisi, sumber belajar, pustakawan, dan laboran.
(2) Standar untuk setiap jenis tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh
BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 36
(1) Tenaga Kependidikan pada pendidikan tinggi harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sesuai
dengan bidang tugasnya.
(2) Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 37
(1) Tenaga kependidikan di lembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum
yang dipersyaratkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang standar tenaga kependidikan pada lembaga kursus dan pelatihan
dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
(1) Kriteria untuk menjadi kepala TK/RA meliputi:
a. Berstatus sebagai guru TK/RA;
b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 15
perundang-undangan yang berlaku;
c. Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA; dan
d. Memiliki kemampuan kepimpinanan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
(2) Kriteria untuk menjadi kepala SD/MI meliputi:
a. Berstatus sebagai guru SD/MI;
b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
c. Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di SD/MI; dan
d. Memiliki kemampuan kepimpinanan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
(3) Kriteria untuk menjadi kepala SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK meliputi:
a. Berstatus sebagai guru SMP/MTS/SMA/MA/SMK/MAK;
b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
c. Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK;
dan
d. Memiliki kemampuan kepimpinanan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
(4) Kriteria untuk menjadi kepala SDLB/SMPLB/SMALB meliputi:
a. Berstatus sebagai guru pada satuan pendidikan khusus;
b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
c. Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di satuan pendidikan khusus; dan
d. Memiliki kemampuan kepimpinanan, pengelolaan, dan kewirausahaan di bidang pendidikan khusus.
(5) Kriteria kepala satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan
oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Pengawasan pada pendidikan formal dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan.
(2) Kriteria minimal untuk menjadi pengawas satuan pendidikan meliputi:
a. Berstatus sebagai guru sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun atau kepala sekolah sekurangkurangnya
4 (empat) tahun pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan satuan pendidikan yang
diawasi;
b. memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai pengawas satuan pendidikan;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 16
c. lulus seleksi sebagai pengawas satuan pendidikan.
(3) Kriteria pengawas suatu satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Pengawasan pada pendidikan nonformal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan.
(2) Kriteria minimal untuk menjadi penilik adalah:
a. Berstatus sebagai pamong belajar/pamong atau jabatan sejenis di lingkungan pendidikan luar sekolah
dan pemuda sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, atau pernah menjadi pengawas satuan pendidikan
formal;
b. memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
c. memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai penilik; dan
d. lulus seleksi sebagai penilik.
(3) Kriteria penilik suatu satuan pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2)
dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan
yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.
(2) Kriteria penyelenggaraan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
STANDAR SARANA DAN PRASARANA
Pasal 42
(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media
pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan
untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
(2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan
satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel
kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah,
tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Pasal 43
(1) Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa,
laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar
yang berisi jenis minimal peralatan yang harus tersedia.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 17
(2) Standar jumlah peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rasio minimal jumlah
peralatan per peserta didik.
(3) Standar buku perpustakaan dinyatakan dalam jumlah judul dan jenis buku di perpustakaan satuan
pendidikan.
(4) Standar jumlah buku teks pelajaran di perpustakaan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks
pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di perpustakaan satuan pendidikan untuk setiap peserta didik.
(5) Kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
(6) Standar sumber belajar lainnya untuk setiap satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio jumlah sumber
belajar terhadap peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar dan karakteristik satuan pendidikan.
Pasal 44
(1) Lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) untuk bangunan satuan pendidikan, lahan praktek,
lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan untuk menjadikan satuan pendidikan suatu
lingkungan yang secara ekologis nyaman dan sehat.
(2) Standar lahan satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio luas lahan per peserta didik.
(3) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster
satuan pendidikan sejenis dan sejenjang, serta letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan
pendidikan yang menjadi pengumpan masukan peserta didik.
(4) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan jarak tempuh maksimal yang harus dilalui oleh
peserta didik untuk menjangkau satuan pendidikan tersebut.
(5) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, dan kesehatan
lingkungan.
Pasal 45
(1) Standar rasio luas ruang kelas per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
(2) Standar rasio luas bangunan per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
(3) Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan dasar dan menengah adalah kelas B.
(4) Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan tinggi adalah kelas A.
(5) Pada daerah rawan gempa bumi atau tanahnya labil, bangunan satuan pendidikan harus memenuhi
ketentuan standar bangunan tahan gempa.
(6) Standar kualitas bangunan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), dan (5) mengacu
pada ketetapan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
Pasal 46
(1) Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan yang memerlukan
layanan khusus wajib menyediakan akses ke sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 18
(2) Kriteria penyediaan akses sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan
oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 47
(1) Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan
Pasal 46 menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan berkesinambungan
dengan memperhatikan masa pakai.
(3) Pengaturan tentang masa pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 48
Standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai 47 dikembangkan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
STANDAR PENGELOLAAN
Bagian Kesatu
Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan
Pasal 49
(1) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen
berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
(2) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi yang
dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan
dan mendorong kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan area
fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.
Pasal 50
(1) Setiap satuan pendidikan dipimpin oleh seorang kepala satuan sebagai penanggung jawab pengelolaan
pendidikan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya kepala satuan pendidikan SMP/MTs/ SMPLB, atau bentuk lain yang
sederajat dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala satuan pendidikan.
(3) Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat kepala satuan
pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dibantu minimal oleh tiga wakil kepala satuan pendidikan yang
masing-masing secara berturut-turut membidangi akademik, sarana dan prasarana, serta kesiswaan.
Pasal 51
(1) Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang akademik dilakukan oleh
rapat Dewan Pendidik yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan.
(2) Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 19
oleh komite sekolah/madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan.
(3) Rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah dilaksanakan atas dasar prinsip musyawarah
mufakat yang berorientasi pada peningkatan mutu satuan pendidikan.
Pasal 52
(1) Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang:
a. Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus;
b. Kalender pendidikan/akademik, yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan pendidikan
selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan;
c. Struktur organisasi satuan pendidikan;
d. Pembagian tugas di antara pendidik;
e. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan;
f. Peraturan akademik;
g. Tata tertib satuan pendidikan, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan
peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana;
h. Kode etik hubungan antara sesama warga di dalam lingkungan satuan pendidikan dan hubungan
antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat;
i. Biaya operasional satuan pendidikan.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a, b, d, e, f, dan h diputuskan oleh rapat dewan
pendidik dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c dan i diputuskan oleh komite sekolah/madrasah
dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan.
(4) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir g ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan setelah
mempertimbangkan masukan dari rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah.
(5) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir e ditetapkan oleh pimpinan satuan pendidikan.
(6) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing
perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 53
(1) Setiap satuan pendidikan dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci dari
rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang meliputi masa 4 (empat) tahun.
(2) Rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan
ekstrakurikuler, dan hari libur;
b. jadwal penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran berikutnya;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 20
c. mata pelajaran atau mata kuliah yang ditawarkan pada semester gasal, semester genap, dan semester
pendek bila ada;
d. penugasan pendidik pada mata pelajaran atau mata kuliah dan kegiatan lainnya;
e. buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran;
f. jadwal penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran;
g. pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai;
h. program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jenis,
durasi, peserta, dan penyelenggara program;
i. jadwal rapat Dewan Pendidik, rapat konsultasi satuan pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik,
dan rapat satuan pendidikan dengan komite sekolah/madrasah, untuk jenjang pendidikan dasar dan
menengah;
j. jadwal rapat Dewan Dosen dan rapat Senat Akademik untuk jenjang pendidikan tinggi;
k. rencana anggaran pendapatan dan belanja satuan pendidikan untuk masa kerja satu tahun;
l. jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja satuan pendidikan untuk satu tahun terakhir.
(3) Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite
Sekolah/Madrasah.
(4) Untuk jenjang pendidikan tinggi, rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus
disetujui oleh lembaga berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 54
(1) Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel.
(2) Pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tidak
sesuai dengan rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 harus mendapat persetujuan
dari rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah
(3) Pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi yang tidak sesuai dengan
rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 harus mendapat persetujuan dari lembaga
berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
(4) Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite
sekolah/madrasah.
(5) Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dipertanggungjawabkan oleh kepala
satuan pendidikan kepada lembaga berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 55
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 21
Pengawasan satuan pendidikan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil
pengawasan.
Pasal 56
Pemantauan dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah atau bentuk lain dari
lembaga perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan.
Pasal 57
Supervisi yang meliputi supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan berkesinambungan
oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan pendidikan.
Pasal 58
(1) Pelaporan dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, dan pengawas atau
penilik satuan pendidikan.
(2) Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, laporan oleh pendidik ditujukan kepada pimpinan satuan
pendidikan dan orang tua/wali peserta didik, berisi hasil evaluasi dan penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
(3) Laporan oleh tenaga kependidikan ditujukan kepada pimpinan satuan pendidikan, berisi pelaksanaan
teknis dari tugas masing-masing dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
(4) Untuk pendidikan dasar dan menengah, laporan oleh pimpinan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan kepada komite sekolah/madrasah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, yang
berisi hasil evaluasi dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
(5) Untuk pendidikan dasar, menengah, dan non formal laporan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan
ditujukan kepada Bupati/Walikota melalui Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan
dan satuan pendidikan yang bersangkutan.
(6) Untuk pendidikan dasar dan menengah keagamaan, laporan oleh pengawas satuan pendidikan ditujukan
kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan yang bersangkutan.
(7) Untuk jenjang pendidikan tinggi, laporan oleh kepala satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditujukan kepada Menteri, berisi hasil evaluasi dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
( 8) Setiap pihak yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) wajib
menindak lanjuti laporan tersebut untuk meningkatkan mutu satuan pendidikan, termasuk memberikan sanksi
atas pelanggaran yang ditemukannya.
Bagian Kedua
Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah
Pasal 59
(1) Pemerintah Daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan
program:
a. wajib belajar;
b. peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 22
c. penuntasan pemberantasan buta aksara;
d. penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
maupun masyarakat;
e. peningkatan status guru sebagai profesi;
f. akreditasi pendidikan;
g. peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan
h. pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan.
(2) Realisasi rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui dan
dipertanggungjawabkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah
Pasal 60
Pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:
a. wajib belajar;
b. peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi;
c. penuntasan pemberantasan buta aksara;
d. penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun
masyarakat;
e. peningkatan status guru sebagai profesi;
f. peningkatan mutu dosen;
g. standarisasi pendidikan;
h. akreditasi pendidikan;
i. peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional, dan global;
j. pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan; dan
k. Penjaminan mutu pendidikan nasional.
Pasal 61
(1) Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 23
(2) Menteri menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi
untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
BAB IX
STANDAR PEMBIAYAAN
Pasal 62
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana
dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan
oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
c. biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
BAB X
STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 63
(1) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
(2) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
(3) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh
masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 24
Bagian Kedua
Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Pasal 64
(1) Penilaian hasil belajar oleh pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1 butir a dilakukan
secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan
harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. menilai pencapaian kompetensi peserta didik;
b. bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan
c. memperbaiki proses pembelajaran.
(3) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui:
a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan
kepribadian peserta didik; serta
b. ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
(4) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan,
penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai
(5) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap
perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik.
(6) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui:
a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan
afeksi peserta didik; dan
b. ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
(7) Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah BSNP menerbitkan panduan penilaian untuk:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika; dan
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Bagian Ketiga
Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 25
Pasal 65
(1) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir b
bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran.
(2) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk semua mata pelajaran pada kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,
kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan
merupakan penilaian akhir untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
(3) Penilaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik oleh
pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
(4) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk semua mata pelajaran pada kelompok
ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui ujian sekolah/madrasah untuk menentukan kelulusan
peserta didik dari satuan pendidikan.
(5) Untuk dapat mengikuti ujian sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), peserta didik harus
mendapatkan nilai yang sama atau lebih besar dari nilai batas ambang kompetensi yang dirumuskan oleh
BSNP, pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan
dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan
kesehatan.
(6) Ketentuan mengenai penilaian akhir dan ujian sekolah/madrasah diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri berdasarkan usulan BSNP.
Bagian Keempat
Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah
Pasal 66
(1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
(2) Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.
(3) Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun
pelajaran.
Pasal 67
(1) Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti peserta didik pada
setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan.
(2) Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, dan satuan pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 68
Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 26
b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
d. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
Pasal 69
(1) Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal
kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus
dari satuan pendidikan.
(2) Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa
dipungut biaya.
(3) Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh BSNP.
(4) Peserta ujian nasional memperoleh surat keterangan hasil ujian nasional yang diterbitkan oleh satuan
pendidikan penyelenggara Ujian Nasional.
Pasal 70
(1) Pada jenjang SD/MI/SDLB, atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
(2) Pada program paket A, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.
(3) Pada jenjang SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup pelajaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
(4) Pada program paket B, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
(5) Pada SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
(6) Pada program paket C, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
(7) Pada jenjang SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, Ujian Nasional mencakup pelajaran Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran kejuruan yang menjadi ciri khas program
pendidikan.
Pasal 71
Kriteria kelulusan ujian nasional dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Kelulusan
Pasal 72
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 27
(1) Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,
kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan
;
c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d. lulus Ujian Nasional.
(2) Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan
sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB XI
BADAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
(BSNP)
Pasal 73
(1) Dalam rangka pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan,
dengan Peraturan Pemerintah ini dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
(2) BSNP berkedudukan di ibu kota wilayah Negara Republik Indonesia yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
(3) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya BSNP bersifat mandiri dan profesional.
Pasal 74
(1) Keanggotaan BSNP berjumlah gasal, paling sedikit 11 (sebelas) orang dan paling banyak 15 (lima belas)
orang.
(2) Anggota BSNP terdiri atas ahli-ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, dan manajemen
pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.
(3) Keanggotaan BSNP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa bakti 4 (empat) tahun.
Pasal 75
(1) BSNP dipimpin oleh seorang ketua dan seorang sekretaris yang dipilih oleh dan dari anggota atas dasar
suara terbanyak.
(2) Untuk membantu kelancaran tugasnya BSNP didukung oleh sebuah sekretariat yang secara ex-officio
diketuai oleh pejabat Departemen yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) BSNP menunjuk tim ahli yang bersifat ad-hoc sesuai kebutuhan.
Pasal 76
(1) BSNP bertugas membantu Menteri dalam mengembangkan, memantau, dan mengendalikan standar
nasional pendidikan.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 28
(2) Standar yang dikembangkan oleh BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara
nasional setelah ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(3) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BSNP berwenang:
a. mengembangkan Standar Nasional Pendidikan;
b. menyelenggarakan ujian nasional;
c. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan.
d. merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pasal 77
Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3), BSNP didukung dan
berkoordinasi dengan Departemen dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama,
dan dinas yang menangani pendidikan di provinsi/ kabupaten/kota.
BAB XII
EVALUASI
Pasal 78
Evaluasi pendidikan meliputi:
a. evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh satuan pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
b. evaluasi kinerja pendidikan oleh Pemerintah;
c. evaluasi kinerja pendidikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi
d. evaluasi kinerja pendidikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
e. evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat atau organisasi profesi untuk
menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan;
Pasal 79
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir a dilakukan oleh satuan pendidikan pada setiap
akhir semester.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. tingkat kehadiran peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan;
b. pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler;
c. hasil belajar peserta didik;dan
d. realisasi anggaran;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 29
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pasal 80
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir b dilakukan oleh Menteri terhadap pengelola,
satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi secara berkala.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir b dilakukan oleh menteri yang menangani urusan
pemerintahan di bidang agama terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada
pendidikan keagamaan secara berkala.
Pasal 81
Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir c dilakukan terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan, pada pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan nonformal termasuk pendidikan
anak usia dini, secara berkala.
Pasal 82
Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 butir d dilakukan terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan, pada pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal termasuk pendidikan
anak usia dini, secara berkala.
Pasal 83
(1) Evaluasi terhadap pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82 dilakukan
sekurang-kurangnya setahun sekali.
(2) Evaluasi terhadap pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sekurang-kurangnya:
a. Tingkat relevansi pendidikan terhadap visi, misi, tujuan, dan paradigma pendidikan nasional;
b. Tingkat relevansi satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat akan
sumberdaya manusia yang bermutu dan kompetitif;
c. Tingkat pencapaian Standar Nasional Pendidikan oleh satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
d. Tingkat efisiensi dan produktivitas satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
e. Tingkat daya saing satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada tingkat daerah, nasional, regional,
dan global.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaporkan kepada Menteri.
(4) Atas dasar evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (3), Menteri melakukan evaluasi
komprehensif untuk menilai:
a. Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap visi, misi, tujuan, dan paradigma pendidikan nasional;
b. Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap kebutuhan masyarakat akan sumberdaya manusia
yang bermutu dan berdayasaing;
c. Tingkat mutu dan daya saing pendidikan nasional;
d. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 30
e. Tingkat pemerataan akses masyarakat ke pelayanan pendidikan; dan
f. Tingkat efisiensi, produktivitas, dan akuntabilitas pendidikan nasional.
Pasal 84
(1) Evaluasi dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat.
(2) Evaluasi sebagai dimaksud pada ayat (1) secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menentukan pencapaian standar nasional
pendidikan oleh peserta didik, program, dan/atau satuan pendidikan.
(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan secara mandiri, independen, obyektif,
dan profesional.
(5) Metode dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diumumkan kepada publik dan dilaporkan ke BSNP.
Pasal 85
(1) Untuk mengukur dan menilai pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program
dan/atau satuan pendidikan, masyarakat dapat membentuk lembaga evaluasi mandiri.
(2) Kelompok masyarakat yang dapat membentuk lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi untuk melakukan evaluasi secara profesional,
independen dan mandiri.
(3) Pembentukan lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Menteri.
BAB XIII
AKREDITASI
Pasal 86
(1) Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan
program dan/atau satuan pendidikan.
(2) Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri
yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi.
(3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan
secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang
mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 87
(1) Akreditasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dilaksanakan oleh:
a. BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan penddikan jalur formal pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah;
b. BAN-PT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan
c. BAN-PNF terhadap progam dan/atau satuan pendidikan jalur nonformal.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 31
(2) Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BAN-S/M dibantu oleh badan
akreditasi provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
(3) Badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
mandiri.
(5) Ketentuan mengenai badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur labih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 88
(1) Lembaga mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dapat melakukan fungsinya setelah
mendapat pengakuan dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga mandiri wajib memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya:
a. berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba.
b. memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB XIV
SERTIFIKASI
Pasal 89
(1) Pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat
kompetensi.
(2) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah serta
satuan pendidikan tinggi, sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari satuan
pendidikan.
(3) Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya
berisi:
a. Identitas peserta didik;
b. Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari penilaian akhir satuan pendidikan
beserta daftar nilai mata pelajaran yang ditempuhnya;
c. Pernyataan tentang status kelulusan peserta didik dari Ujian Nasional beserta daftar nilai mata
pelajaran yang diujikan; dan
d. Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan dinyatakan
lulus dari satuan pendidikan.
(4) Pada jenjang pendidikan tinggi ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya berisi:
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 32
a. Identitas peserta didik;
b. Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan dinyatakan
lulus dari satuan pendidikan.
(5) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui
Pemerintah sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi.
(6) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya berisi:
a. Identitas peserta didik;
b. Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi untuk semua mata
pelajaran atau mata kuliah keahlian yang dipersyaratkan dengan nilai yang memenuhi syarat sesuai
ketentuan yang berlaku;
c. Daftar semua mata pelajaran atau mata kuliah keahlian yang telah ditempuh uji kompetensinya oleh
peserta didik, beserta nilai akhirnya.
Pasal 90
(1) Peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat
kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri/profesi sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijazah yang setara dengan ijazah dari pendidikan
dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang terakreditasi sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB XV
PENJAMINAN MUTU
Pasal 91
(1) Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan.
(2) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau
melampaui Standar Nasional Pendidikan.
(3) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis,
dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Pasal 92
(1) Menteri mensupervisi dan membantu satuan perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu.
(2) Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama mensupervisi dan membantu satuan
pendidikan keagamaan melakukan penjaminan mutu.
(3) Pemerintah Provinsi mensupervisi dan membantu satuan pendidikan yang berada di bawah
kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur penyelenggaraannya dalam melakukan penjaminan
mutu.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 33
(4) Pemerintah Kabupaten/Kota mensupervisi dan membantu satuan pendidikan yang berada di bawah
kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur penyelenggaraannya dalam melakukan penjaminan
mutu.
(5) BAN-S/M, BAN-PNF, dan BAN-PT memberikan rekomendasi penjaminan mutu pendidikan kepada
program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi, dan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(6) LPMP mensupervisi dan membantu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
dalam melakukan upaya penjaminan mutu pendidikan.
(7) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), LPMP bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah dan Perguruan tinggi.
( 8) Menteri menerbitkan pedoman program penjaminan mutu satuan pendidikan pada semua jenis, jenjang
dan jalur pendidikan.
Pasal 93
(1) Penyelenggaraan satuan pendidikan yang tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan ini dapat
memperoleh pengakuan dari Pemerintah atas dasar rekomendasi dari BSNP.
(2) Rekomendasi dari BSNP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penilaian khusus.
(3) Pengakuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini:
a. Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS), Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT),
Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP) masih tetap menjalankan tugas dan fungsinya
sampai dibentuknya badan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
b. Satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat
7 (tujuh) tahun.
c. Standar kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berlaku efektif sepenuhnya 15
(lima belas) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
d. Ujian nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini.
e. Penyelenggaraan ujian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah sebelum BSNP menjalankan tugas dan
wewenangnya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 95
Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan standar nasional pendidikan pada saat berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 34
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling
lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 97
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 16 Mei 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal 16 Mei 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK AZAZI MANUSIA
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 41
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Tata Usaha
Ttd
Sugiri, SH
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 35
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2005
TENTANG
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
I. UMUM
Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu
bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat
memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatan
yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap
warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
Sementara itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undangundang
tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi pembangunan
pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat,
dan berdaya saing dalam kehidupan global.
Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan
nasional adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat
nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
dan tantangan global; (4) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh
sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan
masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
(6) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan
global; dan (7) mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip
otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait dengan visi dan misi pendidikan nasional tersebut di atas, reformasi pendidikan meliputi hal-hal
berikut:
Pertama; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang
memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas
peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari
paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran
pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma
pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan
kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak
mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan
yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 36
Kedua; adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya
pembangunan, menjadi paradigma manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus
mampu membentuk manusia seutuhnya yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki karakteristik
personal yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Proses pendidikan harus
mencakup: (1) penumbuhkembangan keimanan, ketakwaan,; (2) pengembangan wawasan kebangsaan,
kenegaraan, demokrasi, dan kepribadian; (3) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; (4)
pengembangan, penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni; serta (5) pembentukan manusia yang sehat
jasmani dan rohani. Proses pembentukan manusia di atas pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Ketiga; Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosialkulturalnya
dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri
yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual
peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal,
sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan
lingkungan kulturalnya.
Keempat; Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan
dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan
kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini, kriteria
dan kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan: (1) pendidikan yang berisi
muatan yang seimbang dan holistik; (2) proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi,
mendorong kreativitas, dan dialogis; (3) hasil pendidikan yang bermutu dan terukur; (4) berkembangnya
profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan; (5) tersedianya sarana dan prasarana belajar yang
memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal; (6) berkembangnya pengelolaan
pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan; dan (7) terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi
yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Acuan dasar tersebut di atas merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu
pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan
layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu, standar nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai
perangkat untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional.
Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan
setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan
karakteristik dan kekhasan programnya. Standar nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin untuk
memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam
mengembangkan mutu layanan pendidikannya sesuai dengan program studi dan keahlian dalam kerangka
otonomi perguruan tinggi. Demikian juga standar nasional pendidikan untuk jalur pendidikan nonformal hanya
mengatur hal-hal pokok dengan maksud memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan
pada jalur pendidikan nonformal yang memiliki karakteristik tidak terstruktur untuk mengembangkan
programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang
sepenuhnya menjadi kewenangan keluarga dan masyarakat didorong dan diberikan keleluasaan dalam
mengembangkan program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Oleh karena
itu, standar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
pengakuan kompetensi peserta didik saja.
II. Pasal demi pasal
Pasal 1
Cukup Jelas.
Pasal 2
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 37
Cukup Jelas.
Pasal 3
Pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk pengembangan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Pasal 4
Cukup Jelas.
Pasal 5
Cukup Jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud pendidikan umum meliputi SD/MI/paket A, SMP/MTs/Paket B, dan
SMA/MA/Paket C atau bentuk lain yang sederajat.
Yang dimaksud pendidikan kejuruan meliputi SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat.
Yang dimaksud pendidikan khusus meliputi SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain
yang sederajat.
Pelaksanaan semua kelompok mata pelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan
fisik dan psikologis peserta didik.
Ayat (1) butir a
Yang dimaksud dengan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia termasuk di
dalamnya muatan akhlak mulia yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan
dari pendidikan agama.
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/
SMPLB/Paket B, SMA/MA/ SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual. Peningkatan potensi spiritual dalam
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia mencakup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada
akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang
aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia untuk MA atau bentuk lain yang sederajat,
dapat dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ayat (1) butir b
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 38
Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/ MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang
sederajat dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan
status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara mencakup upaya
pendidikan untuk pembentukan pribadi yang unggul secara individual, dan pembudayaan
serta pembentukan masyarakat madani.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara,
penghargaan terhadap hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan
hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum,
ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta Kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,
SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat diamalkan sehari-hari
oleh peserta didik di dalam dan di luar sekolah, dengan contoh pengamalan diberikan oleh
setiap pendidik dalam interaksi sosialnya di dalam dan di luar sekolah, serta dikembangkan
menjadi bagian dari budaya sekolah.
Muatan bahasa mencakup antara lain penanaman kemahiran berbahasa dan apresiasi
terhadap karya sastra. Untuk menanamkan apresiasi terhadap karya sastra Indonesia, BSNP
menetapkan karya-karya sastra Indonesia unggulan yang wajib dipelajari oleh peserta didik
pada setiap jenjang pendidikan.
Ayat (1) butir c
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/Paket A atau bentuk
lain yang sederajat dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah
yang kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B
atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu
pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan
mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB/Paket C
atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi lanjut akan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan
mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK atau bentuk lain
yang sederajat dimaksudkan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
membentuk kompetensi, kecakapan, dan kemandirian kerja.
Ayat (1) butir d
Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,
SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk
meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi
keindahan dan harmoni.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 39
Kemampuan mengapresiasi dan kemampuan mengekspresikan keindahan serta harmoni
mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu
menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga
mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Ayat (1) butir e
Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/ Paket A
atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta
menanamkan sportifitas dan kesadaran hidup sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SMP/MTs/ SMPLB/Paket
B atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta
membudayakan sportifitas dan kesadaran hidup sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SMA/MA/ SMALB/Paket
C atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta
membudayakan sikap sportif, disiplin, kerja sama, dan hidup sehat.
Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang bersifat
individual maupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti keterbebasan dari perilaku
seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, demam berdarah, muntaber, dan penyakit
lain yang potensial untuk mewabah.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Pelaksanaan pendidikan secara holistik dimaksudkan bahwa proses pembelajaran antar
kelompok mata pelajaran bersifat terpadu dalam mencapai standar kompetensi yang
ditetapkan.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 40
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Ilmu pengetahuan alam sekurang-kurangnya terdiri atas fisika, kimia, dan biologi.
Ilmu pengetahuan sosial sekurang-kurangnya terdiri atas ketatanegaraan, ekonomika,
sosiologi, antropologi, sejarah, dan geografi.
Ayat (6)
Ilmu pengetahuan alam dipilih dari muatan dan/atau kegiatan fisika, kimia, atau biologi yang
disesuaikan dengan program kejuruan masing-masing.
Ilmu pengetahuan sosial dipilih dari muatan dan/atau kegiatan ketatanegaraan, ekonomika,
sejarah, sosiologi, antropologi, atau geografi yang disesuaikan dengan program kejuruan
masing-masing.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat ( 8) Cukup Jelas.
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam mengembangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum, perguruan tinggi melibatkan
asosiasi profesi, instansi pemerintah terkait, dan kelompok ahli yang relevan, misalnya, di
bidang kedokteran melibatkan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang
kesehatan dan Konsil Kedokteran Indonesia.
Ayat (2)
Pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa hanya diajarkan pada
program sarjana dan diploma.
Ayat (3)
Mata kuliah statistika dan matematika dimaksudkan untuk memberikan dasar-dasar
pemahaman dan penerapan metode kuantitatif yang pelaksanakannya disesuaikan dengan
kebutuhan program studi yang bersangkutan.
Untuk program studi tertentu mata kuliah matematika dapat diganti dengan mata kuliah
logika.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 41
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 10
Cukup Jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memfasilitasi satuan pendidikan yang berupaya
menerapkan sistem satuan kredit semester karena sistem ini lebih mengakomodasikan
bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Dengan diberlakukannya sistem ini maka
satuan pendidikan tidak perlu mengadakan program pengayaan karena sudah tercakup (built
in) dalam sistem ini.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Dengan diberlakukannya Standar Nasional Pendidikan, maka Pemerintah memiliki
kepentingan untuk memetakan sekolah/ madrasah menjadi sekolah/madrasah yang sudah
atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan sekolah/madrasah yang belum
memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
mengkategorikan sekolah/ madrasah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar
Nasional Pendidikan ke dalam kategori mandiri, dan sekolah/ madrasah yang belum
memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori standar. Berbagai upaya
ditempuh agar alokasi sumberdaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah diprioritaskan untuk
membantu sekolah/madrasah yang masih dalam kategori standar untuk bisa meningkatkan
diri menuju kategori mandiri. Terhadap sekolah/madrasah yang telah masuk dalam kategori
mandiri, Pemerintah mendorongnya untuk secara bertahap mencapai taraf internasional.
Terkait dengan penuntasan wajib belajar, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung
penyelenggaraan wajib belajar sesuai dengan ketentuan Undang-undang Sisdiknas terlepas
dari apakah sekolah/madrasah termasuk dalam kategori mandiri atau standar.
Pemerintah mendorong dan memfasilitasi diberlakukannya sistem satuan kredit semester
(SKS) karena kelebihan sistem ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan ayat (1).
Terkait dengan itu SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, dan SMA/MA/SMLB,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dapat menerapkan sistem SKS. Khusus untuk
SMA/MA/SMLB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat yang berkategori mandiri harus
menerapkan sistem SKS jika menghendaki tetap berada pada kategori mandiri.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 12
Cukup Jelas.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 42
Cukup Jelas.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Untuk pendidikan tinggi kalender pendidikan disebut kalender akademik
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penilaian hasil pembelajaran mencakup aspek kognitif, psikomotorik, dan/atau afektif sesuai
dengan karakteristik mata pelajaran.
Ayat (2)
Ketentuan pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penggunaan teknik penilaian yang lain
sesuai dengan karakteristik hasil pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai peserta
didik
Ayat (3)
Observasi dimaksudkan untuk mengukur perubahan sikap dan perilaku peserta didik sebagai
indikasi dari keberhasilan pembelajaran dalam aspek afektif dan psikomotorik.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 43
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
Cukup Jelas.
Pasal 26
Cukup Jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi dikembangkan oleh masing-masing perguruan
tinggi sesuai dengan karakteristik program studi akademik, vokasi, dan profesi.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pendidik pada ketentuan ini adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi dan berkompetensi sebagai guru, dosen, konselor, pamong, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Yang dimaksud dengan pendidik sebagai agen pembelajaran (learning agent) pada
ketentuan ini adalah peran pendidik antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan
pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Butir a:
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Butir b:
Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 44
berakhlak mulia.
Butir c:
Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah adalah kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing
peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional
Pendidikan.
Butir d:
Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 29
Standar kualifikasi pendidik sebagaimana diatur dalam pasal ini diterapkan secara bertahap. BSNP
menetapkan pentahapannya untuk masing-masing jenjang pendidikan. Dalam menetapkan
pentahapan tersebut BNSP memperhatikan pertimbangan dari Menteri.
Pasal 30
Cukup Jelas.
Pasal 31
Cukup Jelas.
Pasal 32
Cukup Jelas.
Pasal 33
Cukup Jelas.
Pasal 34
Cukup Jelas.
Pasal 35
Cukup Jelas.
Pasal 36
Cukup Jelas.
Pasal 37
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 45
Cukup Jelas.
Pasal 38
Cukup Jelas.
Pasal 39
Cukup Jelas.
Pasal 40
Cukup Jelas.
Pasal 41
Cukup Jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sumber belajar lainnya antara lain journal, majalah, artikel, website,
dan compact disk.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 43
Cukup Jelas.
Pasal 44
Cukup Jelas.
Pasal 45
Cukup Jelas.
Pasal 46
Cukup Jelas.
Pasal 47
Cukup Jelas.
Pasal 48
Cukup Jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 46
Pengelolaan satuan pendidikan meliputi perencanaan program, penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kegiatan pembelajaran, pendayagunaan pendidik dan tenaga
kependidikan, pengelolaan sarana dan prasana pendidikan, penilaian hasil belajar, dan
pengawasan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 50
Cukup Jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Anggota Dewan Pendidik terdiri atas para pimpinan satuan pendidikan dan semua pendidik
tetap.
Pimpinan satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah/madrasah dan wakil kepala sekolah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat maka dewan pendidik dan/atau komite
sekolah/madrasah menyerahkan pengambilan keputusan yang bersangkutan kepada
lembaga berwenang di atasnya. Dalam hal sekolah/madrasah yang bersangkutan
merupakan satuan pendidikan negeri, maka lembaga yang berwenang adalah dinas
kabupaten/kota yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan atau kantor
departemen yang menangani urusan di bidang agama kabupaten/kota. Dalam hal
sekolah/madrasah yang bersangkutan merupakan satuan pendidikan swasta, maka lembaga
yang berwenang adalah badan hukum yang menjadi penyelenggara satuan pendidikan
dimaksud.
Pasal 52
Cukup Jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
butir a:
Cukup Jelas.
butir b:
Cukup Jelas.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 47
butir c:
Cukup Jelas.
butir d:
Cukup Jelas.
butir e:
Cukup Jelas.
butir f:
Cukup Jelas.
butir g:
Cukup Jelas.
butir h:
Cukup Jelas.
butir i:
Cukup Jelas.
butir j:
Cukup Jelas.
butir k:
RAPBS harus bersifat komprehensif yang meliputi sumber dan alokasi penggunaan biaya
untuk satu tahun yang secara akuntabel dan transparan diketahui oleh orang tua/wali peserta
didik.
butir l:
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 54
Cukup Jelas.
Pasal 55
Cukup Jelas.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 48
Pasal 56
Cukup Jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan supervisi manajerial meliputi aspek pengelolaan dan administrasi satuan
pendidikan. Yang dimaksud dengan supervisi akademik meliputi aspek-aspek pelaksanaan proses
pembelajaran.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak terkait antara lain perangkat daerah atau instansi yang
menangani urusan pendidikan di kabupaten/kota.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat ( 8) Cukup Jelas.
Pasal 59
Cukup Jelas.
Pasal 60
Cukup Jelas.
Pasal 61
Cukup Jelas.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 49
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Yang termasuk biaya personal peserta didik antara lain pakaian, transpor, buku pribadi,
konsumsi, akomodasi, dan biaya pribadi lainnya.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 63
Cukup Jelas.
Pasal 64
Cukup Jelas.
Pasal 65
Cukup Jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Ujian nasional mengukur kompetensi peserta didik dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi, dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan
oleh peserta didik, satuan pendidikan, dan/atau program pendidikan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Hasil ujian nasional dapat dibandingkan baik antar satuan pendidikan, antara daerah,
maupun antar waktu untuk pemetaan mutu pendidikan secara nasional.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup Jelas.
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 50
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
BSNP melakukan evaluasi penyelenggaraan ujian nasional dan dapat mengusulkan hal-hal
yang perlu diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 68
Butir a
Cukup Jelas.
Butir b
Hasil ujian nasional dijadikan sebagai salah satu dasar seleksi untuk melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi. Satuan pendidikan dapat melakukan seleksi dengan menggunakan
instrumen seleksi yang materinya tidak diujikan dalam Ujian Nasional, misalnya tes bakat
skolastik, tes intelegensi, tes minat, tes bakat, tes kesehatan, atau tes lainnya sesuai dengan
Kriteria pada satuan pendidikan tersebut.
Butir c
Cukup Jelas.
Butir d
Cukup Jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Surat keterangan hasil ujian nasional sekurang-kurangnya berisi:
a. Identitas peserta didik;
b. Pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah menempuh Ujian Nasional;
c. Tanggal dan satuan pendidikan di mana Ujian Nasional telah ditempuh oleh peserta
didik;
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 51
d. Nilai Ujian Nasional untuk setiap mata pelajaran yang diujikan; dan
e. Status kelulusan Ujian Nasional, untuk jenjang SMP/SMPLB/MTs atau bentuk lain
yang sederajat, SMA/SMALB/MA atau bentuk lain yang sederajat, dan SMK/MAK
atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 70
Cukup Jelas.
Pasal 71
Cukup Jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam mengembangkan kriteria kelulusan, BSNP mempertimbangkan keragaman mutu
pendidikan secara nasional dan/atau tolok ukur (benchmark) yang bersifat regional maupun
internasional.
Kriteria kelulusan peserta didik yang dikembangkan oleh BSNP tidak menghambat
penuntasan program wajib belajar.
Pasal 73
Cukup Jelas.
Pasal 74
Cukup Jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Menteri menunjuk pejabat yang bertanggung jawab sebagai ketua sekretariat BSNP yang
melaksanakan pengelolaan ketenagaan, sarana dan prasarana, serta administrasi dan
keuangan untuk dapat mendukung pelaksanaan tugas BSNP sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Penunjukan tim ahli didasarkan atas keahlian yang relevan dengan bidang yang
dikembangkan yang berasal dari asosiasi profesi, tenaga ahli yang direkomendasikan oleh
instansi pemerintah terkait dan lainnya. Misalnya, pengembangan kompetensi lulusan SMK
di bidang pelayaran melibatkan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 52
perhubungan; pengembangan kompetensi lulusan SMK di bidang pariwisata melibatkan ahli
dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan asosiasi jasa travel;
pengembangan kompetensi lulusan SMK di bidang kesehatan melibatkan unsur profesi
bidang kesehatan dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 76
Cukup Jelas.
Pasal 77
Cukup Jelas.
Pasal 78
Cukup Jelas.
Pasal 79
Cukup Jelas.
Pasal 80
Cukup Jelas.
Pasal 81
Cukup Jelas.
Pasal 82
Cukup Jelas.
Pasal 83
Cukup Jelas.
Pasal 84
Cukup Jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Contoh dari kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi tersebut adalah organisasi
profesi berbadan hukum yang diakui oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 86
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 53
Cukup Jelas.
Pasal 87
Cukup Jelas.
Pasal 88
Cukup Jelas.
Pasal 89
Cukup Jelas.
Pasal 90
Cukup Jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong dan membantu satuan pendidikan formal
dalam melakukan penjaminan mutu (quality assurance) agar memenuhi atau melampaui
Standar Nasional Pendidikan, sehingga dapat dikategorikan ke dalam kategori mandiri.
Bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada satuan pendidikan dalam penjaminan
mutu lebih diprioritaskan pada satuan pendidikan formal dan nonformal yang
menyelenggarakan program wajib belajar dan satuan pendidikan formal yang masih berada
pada kategori standar.
Dalam rangka lebih mendorong penjaminan mutu ke arah pendidikan yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan perhatian khusus
pada penjaminan mutu satuan pendidikan tertentu yang berbasis keunggulan lokal.
Dalam rangka lebih mendorong penjaminan mutu ke arah pendidikan yang berdaya saing
pada tingkat global, Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan perhatian khusus pada
satuan pendidikan tertentu yang berkategori mandiri dan berorientasi untuk bertaraf
internasional.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 92
Cukup Jelas.
Pasal 93
Cukup Jelas.
Pasal 94
pp-19-2005-standar-nasional-pendidikan.wpd 54
Butir a:
Cukup Jelas.
Butir b:
Cukup Jelas
Butir c:
Sebelum standar kualifikasi akademik berlaku efektif, BSNP mengembangkan standar antara
yang secara bertahap menuju pencapaian standar kualifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud pada Pasal 29 Peraturan Pemerintah ini.
Butir d:
Cukup Jelas.
Butir e:
Cukup Jelas.
Pasal 95
Cukup Jelas.
Pasal 96
Cukup Jelas.
Pasal 97
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4496